Pejabat Publik: Pengendalian Diri, Gengsi dan Korupsi

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini

Pengelola Omah Buku Uplik Cilik, Tinggal di Desa Pelemgede, Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah

Dalam penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Rabu (25/11/2020), di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sekembalinya dari lawatan ke Amerika Serikat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah barang mewah yang diduga dibeli Edhy dan istrinya dari uang suap terkait perizinan ekspor benih lobster tahun 2020.

Tas Hermes, baju Old Navy, jam tangan Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumi, koper LV (Louis Vuitton), sepatu LV, dan sepeda road bike merek Specialized S-Works merupakan barang-barang yang disita KPK dalam penangkapan tersebut.

Jam Rolex itu sempat menjadi perbincangan di Twitter. Selain itu, pengguna internet juga ”bergunjing” soal sepeda yang ditunjukkan petugas KPK dalam konferensi pers pengumuman penetapan tersangka dalam kasus itu pada Rabu malam hingga Kamis (26/11/2020) dini hari. Sepeda tersebut berjenis road bike merek Spesialized S-Works.

Hal tersebut terlihat dari tulisan S-Works di rangka sepeda bagian bawah. Selain itu, logo seperti huruf S (logo sepeda Spesialized) juga terpampang di kardus pembungkus sepeda. Berdasarkan penelusuran di situs daring https://www.specialized.com, sepeda tersebut diperkirakan seri S-Works Roubaix-Shimano Dura-Ace Di2.

Sepeda itu di Amerika Serikat dihargai 11.000 dollar AS atau sekitar Rp 156 juta (1 dollar AS setara dengan Rp 14.200). Harga di Indonesia kemungkinan lebih mahal karena ada biaya kirim dan pajak.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menuturkan, dalam kasus yang menjerat Edhy Prabowo, diduga terdapat transfer Rp 3,4 miliar dari swasta untuk keperluan Edhy, istrinya, serta dua staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, yakni Safri dan Andreau Pribadi Misata.

Uang tersebut, di antaranya, diduga digunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istrinya di Honolulu, AS, pada 21-23 November 2020. Barang mewah itu berupa jam tangan Rolex dan tas mewah.

Dugaan pembelian barang mewah dari hasil korupsi bukan sesuatu yang baru. Bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang kini menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta bersama menantunya, Rezky Herbiyono, didakwa menerima suap dan gratifikasi Rp 83 miliar saat Nurhadi menjabat Sekretaris MA.

Dalam surat dakwaan disebutkan, uang yang diterima Nurhadi dan Rezky digunakan untuk membeli sejumlah barang mewah, di antaranya membeli beberapa tas merek Hermes Rp 3,26 miliar, pakaian Rp 396 juta, dan jam tangan Rp 1,4 miliar. Mereka juga membeli mobil Land Cruiser, Lexus, dan Alphard beserta aksesorinya sebesar Rp 4,6 miliar.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menilai apa yang dilakukan koruptor di Indonesia dengan membeli barang-barang mewah sebagai bentuk keserakahan. ”Jarang yang memutar kembali (uang korupsinya) untuk modal investasi atau TPPU (tindak pidana pencucian uang) yang lebih canggih. Mereka menghindari pola rumit,” ujarnya.

Ia menuturkan, koruptor lebih banyak membeli barang mewah, seperti tas, mobil, perhiasan, atau barang yang sedang tren, seperti sepeda. Investasi mereka biasanya pada properti, seperti tanah dan bangunan. Oce menilai para koruptor memiliki kecenderungan suka dengan barang mewah dengan harga mahal.

Pakar psikologi politik, Hamdi Moeloek, mengungkapkan, korupsi karena kebutuhan terjadi akibat faktor sistemik. Sementara korupsi karena keserakahan dilakukan untuk memperkaya diri dan memenuhi tuntutan gaya hidup.

Menurut Hamdi, situasi ini terjadi karena orang tersebut belum puas dengan apa yang dimiliki serta pengaruh lingkungan sekitar. Untuk meminimalkan terjadinya korupsi, maka pejabat publik harus diisi orang berintegritas; orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.