12
Wed, Nov

Putusan nomor 169/PUU-XXIII/2025: MK Perintahkan Perempuan Ada di Tiap AKD dan Kursi Pimpinan

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com, 3 Nopember 2025— Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan prinsip kesetaraan tidak boleh berhenti pada pencalonan legislatif, tetapi harus diterapkan sampai pada struktur kekuasaan di parlemen. Karenanya MK memerintahkan DPR menata ulang seluruh komposisi alat kelengkapan dewan agar mencerminkan keterwakilan perempuan yang terdistribusi berimbang dan merata di setiap alat kelengkapan.

Kuota 30 persen perempuan juga harus diwujudkan dalam kepemimpinan di setiap alat kelengkapan dewan (AKD). Ketiadaan ketentuan tentang kuota perempuan dalam pimpinan AKD selama ini telah menyebabkan implementasi kesetaraan jender sulit terwujud.

”Ketiadaan ketentuan kuota paling sedikit 30 persen perempuan untuk mengisi posisi pimpinan AKD adalah inkonstitusional. Sebaliknya, adanya pengaturan dimaksud memberikan kepastian hukum yang adil karena ukuran penetapan formula 30 persen perempuan dapat diukur dan lebih jelas implementasinya,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan nomor 169/PUU-XXIII/2025, Kamis (30/10/2025).

MK mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, serta perorangan Titi Anggraini (pengajar hukum pemilu pada Universitas Indonesia).

MK menyatakan, sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berkenaan dengan keanggotaan dan kepemimpinan AKD inkonstitusional bersyarat jika tak dimaknai dengan memuat perimbangan dan pemerataan anggota perempuan di setiap AKD serta kuota 30 persen perempuan di kursi pimpinan AKD.

Mahkamah menilai praktik yang selama ini terjadi adalah anggota DPR perempuan ditempatkan dengan tidak merata di AKD. Mereka lebih sering ditugaskan di komisi yang menangani isu sosial, perlindungan anak, atau pemberdayaan perempuan, sementara bidang-bidang strategis, seperti hukum, ekonomi, energi, dan pertahanan, masih didominasi laki-laki.

Untuk memperbaiki kondisi tersebut, MK memandang perlu dibuatnya mekanisme dan langkah konkrit secara kelembagaan dan politik yang dapat dilakukan DPR.

Ada dua langkah konkret yang disebutkan MK, yaitu pertama, DPR perlu menerapkan aturan internal yang tegas agar setiap fraksi menugaskan minimal 30 persen perempuan di setiap alat kelengkapan. Apabila fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di suatu AKD, satu di antaranya haruslah perempuan.

Langkah kedua, kata Saldi, dilakukan rotasi dan distribusi yang adil sehingga anggota perempuan juga berperan dalam komisi-komisi strategis lainnya dan tidak terpusat pada komisi sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan.

MK menegaskan, Badan Musyawarah (Bamus) DPR berperan penting dalam mengevaluasi secara berkala komposisi AKD dan memberikan rekomendasi penyesuaian bila ditemukan ketimpangan jender antarkomisi atau antarfaksi.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum MK, pengaturan mengenai AKD yang dimaksud meliputi anggota Badan Musyawarah, anggota Komisi, anggota Badan Legislasi, anggota Badan Anggaran, anggota BKSAP (Badan Kerja Sama Antar-Parlemen), anggota Mahkamah Kehormatan Dewan, anggota BURT (Badan Urusan Rumah Tangga), dan anggota panitia khusus harus ’memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi. (c-hu)