28
Sun, Apr

Harus Jadi Perioritas; Penanganan Perundungan di Sekolah

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com, 24 Februari 2024--Penanganan perundungan atau bullying di sekolah diminta menjadi prioritas program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Baca juga: https://www.clakclik.com/inspirasi/2266-perilaku-perundungan-disebabkan-karena-minimnya-empati

Penanganan kasus perundungan di lembaga pendidikan saat ini masih sporadis. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dinilai belum mampu menjadi ujung tombak untuk menekan kasus perundungan di lembaga pendidikan secara terstruktur dan komprehensif.

”Padahal, sejak awal menjabat Mendikbudristek, Mas Nadiem Makarim telah menyatakan jika bullying merupakan tiga dosa besar di lingkungan pendidikan, selain pelecehan seksual dan intoleransi. Namun, sampai di ujung jabatannya, kasus bullying relatif marak terjadi,” ujar Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Syaiful Huda, di Jakarta, Kamis (22/2/2024).

Syaiful Huda juga meminta Kemendikbudristek fokus pada masalah prioritas untuk diselesaikan secara komprehensif sehingga menjadi warisan atau legacy Mendikbudristek Nadiem Makarim yang memasuki tahun terakhir masa kerjanya.

”Kami berharap ada legacy yang menjadi praktik baik dari era Mas Menteri untuk dijadikan prototipe kebijakan di era selanjutnya. Kami berharap praktik baik itu salah satunya dari penanganan kasus perundungan di lingkungan pendidikan,” ucapnya.

Syaiful Huda mengapresiasi Kemendikbudristek yang telah menerbitkan Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Namun demikian, implementasi permendikbudristek yang menjadi payung hukum pembentukan tim PPKSP di level sekolah ataupun satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan di level pemerintah daerah masih menemui kendala.

”Penegasan bullying sebagai dosa besar harusnya menjadi prioritas penanganan. Namun, faktanya saat ini banyak sekolah dan pemda belum membentuk tim PPKSP ataupun Satgas PPKSP di entitas masing-masing,” katanya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami mengatakan, Kemendikbudristek menyampaikan keprihatinan atas kasus perundungan terhadap peserta didik yang terjadi di satuan pendidikan. Kemendikbudristek melalui tim inspektorat jenderal telah berkomunikasi dengan sekolah dan menindaklanjuti kasus yang terjadi.

Rusprita menambahkan, Kemendikbudristek akan memastikan korban mendapatkan proses pemulihan yang optimal dan penanganan berjalan sesuai mekanisme investigasi, serta penerapan sanksi bagi pelaku sesuai peraturan yang berlaku.

Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemendikbudristek di daerah juga terus berkoordinasi dengan pihak sekolah dan pemerintah daerah untuk memantau perkembangan kasus ini.

Penegasan bullying sebagai dosa besar harusnya menjadi prioritas penanganan. Namun, faktanya saat ini banyak sekolah dan pemda belum membentuk tim PPKSP ataupun Satgas PPKSP di entitas masing-masing.

Jika terjadi kekerasan di sekolah, pihak sekolah perlu menanganinya lewat tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK). Langkahnya dimulai dari penerimaan laporan, lewat kanal surat tertulis, telepon, pesan singkat elektronik, atau bentuk pelaporan lain yang memudahkan pelapor, ”Jika menemukan dugaan kekerasan secara langsung, TPPK bisa memprosesnya,” ujar Rusprita.

Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan dengan mengumpulkan bukti melalui pemeriksaan pelapor ataupun korban, saksi, dan terlapor. Dari hasil pengumpulan bukti ini, TPPK melakukan analisis hasil pemeriksaan.

Kemudian, tim tersebut menyusun kesimpulan dan rekomendasi kasus. Jika TPPK menyimpulkan adanya kekerasan berdasarkan kriteria kekerasan di Permendikbudristek No 46/2023, rekomendasi bisa memuat sanksi administratif kepada pelaku.

Aturan itu juga memuat tentang pendampingan pemulihan atau rujukan pemulihan kepada korban/pelapor dan/atau saksi; pemulihan ini sudah harus dilakukan sejak penerimaan laporan; tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan bagi korban peserta didik.

Sebaliknya, jika disimpulkan tidak ditemukan ada kekerasan, TPPK merekomendasikan tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan bagi korban dan/atau pelaku peserta didik, pemulihan nama baik terlapor.

Laporan hasil pemeriksaan diberikan TPPK kepada kepala sekolah untuk ditindaklanjuti dengan penerbitan keputusan. Adapun pemulihan bagi pelapor/korban dapat dilakukan sejak laporan diterima. Dengan adanya pemulihan, harapannya korban/pelapor tetap bisa melanjutkan pendidikannya.

Rusprita menjelaskan, ruang lingkup terjadinya kekerasan yang menjadi kewenangan TPPK adalah kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan di luar satuan pendidikan, tetapi masih ada hubungannya dengan kegiatan pendidikan/pembelajaran.

Kalau terjadi kekerasan di luar kedua kriteria tersebut, kasus akan ditangani melalui peraturan lain, termasuk ditangani aparat penegak hukum. TPPK atau satuan pendidikan perlu melaksanakan pendampingan untuk memastikan terpenuhinya hak peserta didik dalam memperoleh layanan pendidikan dan pemulihan.

Jika sudah ada kejadian perundungan, lanjut Rusprita, PPKSP sekolah diwajibkan memastikan adanya upaya pencegahan kekerasan menyeluruh agar warga satuan pendidikan aman dari berbagai jenis kekerasan.

Tindakan pencegahan meliputi penguatan tata kelola, membuat tata tertib dan program pencegahan kekerasan, menerapkan pembelajaran tanpa kekerasan, membentuk TPPK, serta melibatkan warga sekolah (orangtua atau wali).

Penting juga adanya edukasi dalam bentuk sosialisasi dan kampanye di satuan pendidikan, melaksanakan pendidikan penguatan karakter, memastikan tersedianya sarana dan prasarana yang aman dan ramah disabilitas, serta menyediakan kanal aduan.

”Pemerintah daerah juga memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan,” kata Rusprita.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Independen (FGSI) Heru Purnomo meminta agar Kemendikbudristek memperkuat sosialisasi dan penerapan Permendikbudrsitek No 46/2023 yang menjadi payung hukum penanganan kekerasan di sekolah. Cakupan kekerasan yang bisa ditangani TPPKS di antaranya kasus terjadi di luar sekolah, tetapi siswa yang terlibat merupakan pelajar sekolah tersebut.

Heru Purnomo menegaskan, saat ini geng sekolah mulai menjamur di sejumlah sekolah. FSGI mendorong dinas pendidikan di daerah bersama Kemendikbudristek agar mencari cara tepat untuk mencegah dan membubarkan geng-geng sekolah yang berpotensi melakukan kekerasan yang berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak. (c-hu)